Kamis, 28 Maret 2024

Breaking News

  • Anggota DPRD Meranti H. Musdar, S.Pd Menggelar Sosialisasi Tentang Perluasan Perda No 10 Tahun 2012.   ●   
  • Plt Bupati Asmar Serahkan LKPD Tahun 2023 ke BPK RI Perwakilan Riau   ●   
  • Pemkab Meranti Peringati Nuzul Qur’an di Masjid Agung Darul Ulum Selat Panjang   ●   
  • Sekda Meranti Ajak Seluruh Pihak Serius dan Jaga Konsentrsi Laksanakan Percepatan Penurunan Stunting   ●   
  • REZITA MEYLANI YOPI, BUPATI INHU RESMIKAN SPKLU PERTAMA UNTUK MOBIL LISTRIK   ●   
Tuntut Lahan Masyarakat Adat
Masyarakat Adat Desa Pantai Raja Tuntut PTPN V Kembalikan 150 Hektare Lahan
Kamis 17 Juni 2021, 23:00 WIB
Masyarakat Adat Desa Pantai Raja Tuntut PTPN V Kembalikan 150 Hektare Lahan mereka

RIAUMADANI. COM - Gusdianto tak mampu lagi menahan emosinya. Bicaranya terbata-bata diselingi dengan suara serak tangis yang ia tahan. Air matanya menetes. "Mohon maaf, pak, saya terbawa emosi," kata Gusdianto mengambil tisu untuk menyeka air mata. 

Gusdianto baru saja setengah jalan bercerita soal bagaimana lahan milik mereka diserobot oleh PTPN V ketika emosi yang ia bendung dari tadi jebol.

Hari ini, Kamis (17/6/2021) masyarakat Pantai Raja, Kabupaten Kampar, bersama dengan tokoh masyarakat adat Pantai Raja mendatangi Komisi II DPRD Riau untuk mencari penyelesaian masalah lahan tanah milik mereka yang diserobot oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Kedatangan masyarakat Pantai Raja ini diterima langsung oleh Ketua Komisi II DPRD Riau, Robin P Hutagalung dan anggota komisi II, Manahara Napitupulu, Yanti Komalasari, Sewitri dan Sugianto.

Hadir juga Jatmiko K Santosa, direktur PTPN V bersama staff, perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Riau, dan perwakilan dari Dinas Perkebunan Riau.

Gusdianto mengatakan bahwa niat masyarakat Pantai Raja selama ini baik untuk mencari lahan milik mereka. Ia berharap perjuangan yang dulu sudah dilakukan oleh orang tua-tua mereka dapat berhasil. Untuk perjuangan masyarakat Pantai Raja untuk mendapatkan hak lahan milik harus dilaporkan ke pihak Polda Riau oleh PTPN V sebagai tindakan pidana krimsus.

Salah satu tokoh masyarakat Pantai Raja, Abadillah Datuk Abugarang mengatakan bahwa PTPN V sudah merampas tanah milik masyarakat selama 36 tahun sejak tahun 1984 saat PTPN V mulai merontokkan perkebunan karet milik masyarakat.

"Apa yang sudah diakui oleh PTPN V 150 hektar, kami ingin itu diberikan kepada kami. Itu yang kami inginkan. Yang kami inginkan kembalikan hak kami," katanya. 

Robin P Hutagalung yang menerima masyarakat adat Pantai Raja mengatakan bahwa Komisi II punya kewenangan memfasilitasi terkait persoalan lahan.

Jatmiko K Santosa saat diberikan kesempatan bicara mengatakan apa yang dilakukan oleh PTPN V dalam menjalankan tugas bukan alasan untuk tak mengikuti proses hukum. Sehingga menurutnya ketika diminta oleh direksi ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau kami dari PTPN V marilah kita mengikuti hukum yang ada. Apakah kami yang cacat nantinya atau klaim teman-teman," kata Jatmiko.

"Mengingat teman-teman memiliki klaim tapi klaim teman-teman tidak berdasar."

Pengakuan 150 Hektar

Tahun 1984 PTPN V masuk ke desa Pantai Raja dan membabat kebun karet masyarakat seluas 1.013 hektar tanpa ada perundingan. Tahun 1986 masyarakat Pantai Raja menggugat hal ini melalui pengadilan negeri.

Tahun 1999 masyarakat mengadakan aksi lapangan. Pada 6 April 1999, sebagaimana tertera dalam berita acara, antara masyarakat Pantai Raja dan direksi PTPN 5 saat itu, Situmorang mengakui hak lahan masyarakat Pantai Raja 150 hektar dengan ganti rugi Rp100 juta. Namun pada September 1999 pihak direksi lewat panitia b yang dibentuk belakangan keberatan dengan hal itu.
 
Berangkat dari situ, tahun 2004 masyarakat Pantai Raja kembali memperjuangkan haknya tapi kandas. Tahun 2016 tokoh masyarakat adat desa Pantai Raja membentuk tim advokasi untuk permasalahan masyarakat Pantai Raja dengan PTPN V.

"Jadi dicapailah kesepakatan pada waktu itu bahwa ini harus dilanjutkan dengan ke tahapan seperti ini," kata Abadillah Datuk Abugarang.

Tahun 2019 tokoh masyarakat Pantai Raja menyurati Komisi Nasional HAM untuk mengajukan permasalahan ini. Komnas HAM turun langsung untuk memediasi perkara ini dengan kesepakatan dua opsi lahan 150 hektar dengan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) dan 400 hektar yang harus segera ditempuh oleh PTPN V dalam tempo 9 bulan.

"150 hektar itu mau dibangunkan pola KKPA. Kami tidak mau. Karena menurut kami pola KKPA itu berutang. Kami maunya 150 hektar tanpa utang. Karena itulah kompensasi mereka memakai tanah adat kami selama 36 tahun atau kami terima dengan pola KKPA dengan catatan 400 hektar," ujar Abadillah Datuk Abugarang.   

"Tapi pada kenyataannya pada saat itu PTPN V mangkir dari kesepakatan itu sampai hari ini. Karena sudah lebih dari satu tahun kami menunggu, pada tanggal 10 agustus 2020 kemarin kami atas nama masyarakat adat Desa Pantai Raja menduduki lahan yang menurut hemat kami itu adalah lahan kami selama 23 hari. Setelah 23 hari kita keluar, kita tempuhlah jalur mediasi seperti ini yang menurut kami sangat panjang sampai hari ini tidak membuahkan hasil yang maksimal."

Ia berharap dengan bicara kepada Komisi II akan bisa membantu mencarikan jalan keluar persoalan lahan milik masyarakat Pantai Raja ini.

"Karena kalau kami masyarakat adat Desa Pantai Raja ini dihadapkan pada hukum formal kami tak akan pernah bisa menang dari sisi mana pun. Tapi kami berharap ada kebijakan yang bisa diambil oleh pimpinan DPRD ini dan pimpinan PTPN V yang bisa dijadikan dasar untuk mencarikan solusi kami. Beberapa waktu lalu semua jalur sudah kami coba di Provinsi Riau ini tapi tidak membuahkan hasil."

Sugianto, politikus PKB justru punya penilaian lain terhadap sengketa lahan masyarakat ini.

"Salahnya masyarakat dulu kenapa masyarakat tidak menyela sebelum pemerintah daerah Kampar menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU). Saran saya pemerintah daerah Kampar harus mencarikan lahan 150 hektar," katanya. 

Pendapat serupa keluar dari mulut Yanti Komalasari. Ia mengatakan bahwa kelemahan masyarakat adalah tidak mengurus dokumen soal lahan. "Walaupun satu lembar surat," kata Yanti.

Yanti Komalasari bahkan mencontohkan daerah pemilihannya di Dumai, banyak kasus lahan terjadi karena salah masyarakat sesama masyarakat. "Kami sebagai anggota dewan tak berpihak ke masyarakat. Kami juga tak berpihak ke perusahaan. Kami menengah," kata Yanti.

Seperti yang dikatakan oleh Gusdianto, "Bahkan menggugat perwakilan masyarakat dengan dalih melindungi aset negara. Di mana negara, Pak? Tidak sejengkal pun kami menginginkan hak negara, Pak. Jangan tunjukkan arogansi negara pada kami, Pak. Jelas kami kalah, Pak. Kalah! Saya berprofesi pengacara. Apakah kami akan menang. Tidak. Saya nyatakan akan kalah kami, Pak," ucapnya.

Karena pertemuan belum menemukan jalan keluar, Robin P Hutagalung menjanjikan untuk jadwal ulang pertemuan ini dengan agenda mengundang Pemerintah Daerah Kampar pada Kamis (24/6/2021) mendatang. Rls




Editor : TIS
Kategori : Kampar
Untuk saran dan pemberian informasi kepada katariau.com, silakan kontak ke email: redaksi riaumadain.com
Komentar Anda
Berita Terkait
 
 
Copyrights © 2022 All Rights Reserved by Riaumadani.com
Scroll to top